Jumat, 26 November 2010

Niat Baik Semata Tidaklah Cukup


Print
yang penting niatnya baikSemua pelaku bid'ah mengaku berniat baik dalam melakukan bid'ahnya
Sungguh telah benar apa yang telah dikabarkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam,

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ

((Islam ini muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal kemunculannya)).
Bid'ah telah tersebar dan merajalela di mana-mana bahkan telah mengakar dalam kehidupan kaum muslimin hingga orang awam menganggapnya merupakan syari'at Islam yang tegak dan apa saja yang menyelisihinya adalah kebatilan. Adapun orang yang berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam maka akan dianggap oleh mereka telah keluar dari sunnah dan telah membawa bid'ah (perkara yang baru).

Pembahasan bid'ah merupakan pembahasan yang sangat penting karena semua penyimpangan dan kesesatan yang bermunculan dalam kelompok-kelompok sesat asal muasalnya adalah karena bid'ah yang telah mereka lakukan yang menyelisihi apa yang telah dijalani oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik penyimpangan tersebut dalam masalah aqidah (keyakinan) maupun dalam perkara amalan.

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

((…karena seseungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnah-sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah adalah kesesatan)) (HR Abu Dawud 4/200 no 4607 dan adalah lafal Abu dawud, Al-Hakim 1/174 dan beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih yang tidak ada ‘illahnya”, Ibnu Hibban 1/180).

Cukuplah kenyataan yang kita saksikan sekarang ini dalam dunia Islam menjadi bukti besarnya bahaya bid’ah. Betapa banyak kelompok sesat yang ada di dunia Islam. Ada Al-Qur’aniun (kelompok yang menolak seluruh hadits-hadits Nabi), Ahmadiah (golongan yang mengaku ada Nabi baru), Mu'tazilah (yang menolak hadits-hadits ahad, bahkan menolak hadits-hadits mutawatir seperti hadits-hadits yang menerangkan tentang adanya adzab qubur), Jema’ah-jema’ah takfir yang jumlahnya sangat banyak (yaitu jema’ah-jema’ah yang mengkafirkan orang-orang yang berada diluar golongannya karena tidak berbai’at kepada imam mereka), kelompok tharekat-tharekat sufiah yang sesat yang jumlahnyapun sangat banyak (yang beribadah atau berdzikir dengan cara-cara yang khusus, setiap tharekat caranya berbeda dengan taharekat yang lain), kelompok yang menganggap diri mereka telah sampai pada derajat hakekat sehingga boleh meninggalkan syari’at sehingga tidak perlu sholat lagi, Syi’ah yang menghalalkan nikah kontrak (walaupun hanya satu jam saja pernikahannya setelah itu langsung cerai yang tidak lain ini adalah perzinahan) dan mengkafirkan sebagian besar para sahabat (termasuk Abu Bakar Umar yang telah dijamin masuk surga), Wihdatul wujuud (yang menyakini bahwa Allah menitis pada makhluknya), Jahmiyyah (yang meyakini bahwa Allah tidak memiliki sifat) dan masih banyak sekali kelompok-kelompok yang lain.

Rabu, 20 Oktober 2010

Hukum Mencari-Cari Rukhsoh-Rukhsoh (Pendapat Yang Paling Enak) Para Fuqoha(Ahli Fiqih)


Print
lavaSesungguhnya syaithon senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dengan wasilah-wasilah yang beranekaragam. Di antara pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithon untuk manusia adalah :”Mencari rukhsoh-rukhsoh (pendapat-pendapat yang paling ringan) dari para fuqoha’ dan  mengikuti kesalahan-kesalahan mereka”. Maka dengan cara ini syaithon menipu banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar dan hal-hal yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsoh yang palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masalah-masalah khilafiyah. Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar’i, bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.

Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan akan bolehnya apa yang telah mereka lakukan. Dan mereka bukanlah yang dimintai pertanggungjawaban, mereka hanyalah mengekor, sedangkan pertanggungjawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya, jika  benar atau salah. Bahkan mereka mengambil rukhsoh dari para fuqoha’ pada suatu permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat mereka pada permasalahan yang lain. Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat (menurut hawa nafsu mereka-pent). Mereka menyangka telah melakukan amalan yang sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya-pent).
Syaithon telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan “Letakkanlah dia di leher orang alim dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat”.(Maksudnya yaitu serahkanlah tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban –pent). Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang di antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi ke sebagian ulama yang tasahul (mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak, pent) dalam berfatwa, lalu mereka (sebagian ulama yang tasahul-pent) mencarikan untuknya rukhsoh yang telah difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsoh tersebut padahal rukhsoh itu menyelisihi dalil dan kebenaran yang telah mereka yakini.

Kebanyakan orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang kedua) mufti yang mencari keridhoan manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.

Apakah mafsadah dan mudhorot yang ditimbulkan oleh cara seperti ini?, manakah dalil-dalil syar’i yang menunjukan kebatilan hal ini?, bagaimanakah pendapat-pendapat para ulama tentang hal ini? beserta penjelasan tentang bagaimanakah sikap yang benar dalam menghadapi masalah khilafiyah?, dan apa kewajiban seorang mufti?, dan apa kewajiban seorang yang meminta fatwa?

Hukum Mencari-Cari Rukhsoh-Rukhsoh (Pendapat Yang Paling Enak) Para Fuqoha(Ahli Fiqih)


Print
lavaSesungguhnya syaithon senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dengan wasilah-wasilah yang beranekaragam. Di antara pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithon untuk manusia adalah :”Mencari rukhsoh-rukhsoh (pendapat-pendapat yang paling ringan) dari para fuqoha’ dan  mengikuti kesalahan-kesalahan mereka”. Maka dengan cara ini syaithon menipu banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar dan hal-hal yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsoh yang palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masalah-masalah khilafiyah. Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar’i, bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.

Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan akan bolehnya apa yang telah mereka lakukan. Dan mereka bukanlah yang dimintai pertanggungjawaban, mereka hanyalah mengekor, sedangkan pertanggungjawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya, jika  benar atau salah. Bahkan mereka mengambil rukhsoh dari para fuqoha’ pada suatu permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat mereka pada permasalahan yang lain. Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat (menurut hawa nafsu mereka-pent). Mereka menyangka telah melakukan amalan yang sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya-pent).
Syaithon telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan “Letakkanlah dia di leher orang alim dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat”.(Maksudnya yaitu serahkanlah tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban –pent). Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang di antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi ke sebagian ulama yang tasahul (mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak, pent) dalam berfatwa, lalu mereka (sebagian ulama yang tasahul-pent) mencarikan untuknya rukhsoh yang telah difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsoh tersebut padahal rukhsoh itu menyelisihi dalil dan kebenaran yang telah mereka yakini.

Kebanyakan orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang kedua) mufti yang mencari keridhoan manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.

Apakah mafsadah dan mudhorot yang ditimbulkan oleh cara seperti ini?, manakah dalil-dalil syar’i yang menunjukan kebatilan hal ini?, bagaimanakah pendapat-pendapat para ulama tentang hal ini? beserta penjelasan tentang bagaimanakah sikap yang benar dalam menghadapi masalah khilafiyah?, dan apa kewajiban seorang mufti?, dan apa kewajiban seorang yang meminta fatwa?

Senin, 18 Oktober 2010

Qunut Subuh (Bag.1)

gelasPertanyaan : Assalamu'alaikum ustadz...barokallahu fiik, ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, terutama terkait kondisi mengikuti imam dalam sholat.

1. Bagaimana bila kita tahu dari kebiasaannya selama ini imam duduk tawarruk, apakah kita juga duduk tawarruk tatkala raka'at terakhir sholat subuh?

2. juga, bagaimana bila kita tidak tahu kebiasaan duduk imam (misalnya karena kita ada di masjid lain)?

3. bila kita ada di shaf pertama dan ada persis di sekitar belakang imam, apakah boleh kita melihat sejenak ke arah imam untuk melihat bagaimana ia duduk? atau, sebaliknya, bagaimana kalau kita ada di shaf kedua, ketiga, dst. tapi benar-2 tdk tahu kebiasaan duduk imam?
jazakallahu khoir ustadz... wassalamu'alaikum

Jawab :

Pertanyaan seperti ini sama dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
-    Apakah jika imam menggerak-gerakan jarinya tatkala tasyahhud maka makmum juga harus ikut menggerak-gerakan jarinya, padahal sang makmum tidak meyakini akan sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud? Dan jika sebaliknya?

-     Apakah jika imam mengangkat kedua tangan tatkala hendak sujud maka makmum juga harus mengangkat kedua tangannya (padahal sang makmum tidak meyakini disunnahkannya hal tersebut)? Dan jika sebaliknya?

-     Apakah jika imam hendak sujud dengan meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya apakah makmum juga harus demikian?, sementara makmum meyakini didahulukannya kedua tangan sebelum kedua lutut?, dan jika sebaliknya?

-     Apakah jika imam melakukan duduk istirahat -tatkala hendak berdiri ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat- maka makmum juga harus duduk istirahat (padahal sang makmum tidak meyakini adanya duduk istirahat)?, dan jika sebaliknya?

-     Apakah jika imam qunut subuh maka sang makmum juga harus qunut subuh? (padahal sang makmum meyakini tidak disyari'atkannya qunut subuh)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus paham apa saja perkara-perkara yang sang makmum harus mengikuti imam dan tidak boleh menyelisihinya?

Para pembaca yang budiman, nash yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah sabda Nabi
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

"Hanyalah dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka sholatlah kalian (wahai para mekmum-pent) berdiri juga, jika imam ruku' maka ruku'lah kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata "Sami'allahu liman hamidahu" ucapkanlah "Robbanaa wa lakalhamdu". Jika imam sholat berdiri maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk maka sholatlah kalian seluruhnya dengan duduk" (HR Al-Bukhari no 657)

Rasulullah juga bersabda:
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا ...

"Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia ruku' maka ruku'lah kalian…" (HR Al-Bukhari no 689)

Ibnu Hajar berkata, "Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera menyusul sebagaimana gerakan sang imam"  (Fathul Baari 2/178)

Berkata An-Nawawi : "Hadits ini dalil akan wajibnya makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk, ruku', sujud, dan hendaknya ia melakukannya setelah imam. Maka ia bertakbirotul ihroom setelah imam selesai bertakbirotul ihrom. Jika bertakbirotul ihrom sebelum imam bertakbirotul ihrom maka tidak sah sholatnya. Ia ruku' setelah imam mulai ruku' dan sebelum imam berdiri dari ruku'. Jika ia menyertai imam (dalam ruku'-pent) atau mendahului imam maka ia telah berbuat keburukan akan tetapi sholatnya tidak batal. Demikian juga sujud. Dan ia member salam setelah imam selesai salam, jika ia salam sebelum imam salam maka sholatnya batal, kecuali jika ia berniat untuk memisahkan diri dari jama'ah sholat. Dan ada khilaf dalam permasalahan ini..." (Al-Minhaaj 4/131)

An-Nawawi juga berkata, "Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti maka maknanya menurut Imam As-Syafi'i dan sekelompok ulama yaitu (diikuti) pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (nampak), karena boleh saja seseorang yang sholat fardu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah dan sebaliknya, demikian juga seorang yang sholat asar bermakmum kepada orang yang sholat dzuhur dan sebaliknya.

Malik dan Abu Hanifah radhiallahu 'anhumaa dan para ulama yang lain berkata bahwasanya hal ini tidak diperbolehkan. Mereka berkata bahwasanya makna hadits adalah imam diikuti pada gerakan-gerakan dan juga pada niat (jadi niat harus sama antara imam dan makmum-pent). As-Syafii –radhiallahu 'anhu- dan para ulama yang sepakat dengannya berdalil dengan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami (dua kelompok dari) para sahabat di Batn Nakhl tatkala sholat khouf dua kali, sekali bersama kelompok pertama dan yang kdua bersama kelompok yang kedua. Maka sholat beliau yang kedua adalah sunnah adapun (para sahabat dari kelompok yang kedua) yang bermakmum di belakang Nabi sholat mereka adalah fardhu. Demikian juga hadits Mu'adz tatkala beliau setelah sholat isya bersama Nabi maka beliaupun setelah itu mendatangi kaum beliau lalu mengimami mereka, maka sholat tersebut sunnah di sisi Mu'adz dan wajib di sisi kaumnya.

Hal ini menunjukan bahwa mengikuti imam hanya wajib pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (Al-Minhaaj 4/134)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang lebih menguatkan pendapat Imam An-Nawawi ini (madzhab As-Syafi'i) bahwasanya kewajiban mengikuti imam yang pada gerakan-gerakan yang dzhohir karena yang disebutkan oleh Nabi dalam hadits adalah ruku', takbir, bangkit dari ruku' dan semacamnya, adapun niat maka tidak disebutkan dalam hadits (lihat Fathul Baari 2/178)


Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa makmum hanya wajib mengikuti gerakan-gerakan dzohir sang imam, jika sang imam bertakbir maka ia bertakbir pula, jika imam rukuk maka ia segera ruku' juga dan demikian juga jika imam duduk atau berdiri. Hal ini dimaksudkan agar makmum tidak mendahului imam atau terlambat mengikuti imam.

Adapun gerakan-gerakan yang tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam berupa mendahului atau keterlambatan maka tidak wajib bagi makmum untuk mengikuti imam.

Sebagai contoh jika sang imam tatkala duduk tasyahhud sholat subuh dengan tawarruk sedangkan sang makmum meyakini sunnahnya duduk iftirosy maka tidak wajib bagi sang makmum untuk meniru cara duduk sang imam. Karena hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan penyelisihan berupa mendahului atau keterlambatan.

Demikian juga jika ternyata sang imam tidak menggerak-gerakan jarinya sementara sang makmum meyakini sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud maka tidak wajib bagi sang makmum untuk mengikuti sang imam.

Syaikh Al-'Utsaimiin berkata, "Adapun perkara yang mengantarkan kepada penyelisihan imam maka imam harus diikuti (tidak boleh diselisihi-pent), adapun perkara yang tidak menyelisihi imam –seperti mengangkat kedua tangan tatkala hendak ruku' jika ternyata sang imam tidak mengangkat kedua tangannya sedangkan makmum memandang disyari'atkannya mengangkat kedua tangan- maka tidak mengapa bagi makmum untuk mengangkat kedua tangannya. Karena hal ini tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam atau keterlambatan (dalam mengikuti imam).

Demikian juga halnya dalam masalah duduk, jika imam tidak duduk tawarruk sedangkan sang makmum memandang disyari'atkannya duduk tawarruk atau sebaliknya maka sang makmum tidak mengikuti sang imam, karena sang makmum tidak menyelisihi sang imam dan juga tidak terlambat (dalam mengikuti sang imam). (Majmuu' Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-'Utsaimiin15/79)


Bagaimana jika sang imam tidak duduk istirahat?


Jika sang imam tidak duduk istirahat tatkala bangkit ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat, sedangkan makmum memandang disyari'atkannya hal ini, maka apakah makmum tetap boleh duduk istirahat menyelisihi imam? Dan bagaimana jika perkaranya sebaliknya?

Syaikh Al-'Utsaimiin rahimahullah berkata, "Adapun jika (penyelisihan gerakan-pent) mengakibatkan keterlambatan makmum –misalnya makmum memandang disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang imam tidak- maka makmum tidak duduk istirahat. Karena jika sang makmum duduk istirahat maka ia akan terlambat dari imam, padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kita untuk bersegera dalam mengikuti imam, beliau bersabda, "Jika imam bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika imam ruku maka ruku'lah…". Demikian juga jika perkaranya sebaliknya. Jika imam memandang disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang makmum tidak, maka jika imam duduk istirahat  hendaknya sang makmum juga duduk meskipun sang makmum tidak memandang disyari'atkannya duduk istirahat, namun demi mengikuti imam. Inilah kaidah dalam mengikuti imam, yaitu makmum tidak melakukan hal yang menyebabkan penyelisihan atau keterlambatan" (Majmuu' Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-'Utsaimiin15/79)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Telah valid bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam duduk istirahat, akan tetapi para ulama berselisih antara apakah Nabi melakukannya karena beliau sudah tua sehingga butuh untuk duduk istirahat?, ataukah Nabi melakukannya karena duduk istirahat merupakan sunnah dalam sholat?. Barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan kedua maka menganggap duduk istirahat hukumnya mustahab sebagaimana pendapat As-Syafi'i dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan pertama maka tidak menganggap mutahabnya duduk istirahat kecuali jika memerlukannya sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad.

Barangsiapa yang melakukan duduk istirahat maka tidak boleh diingkari meskipun posisinya sebagai makmum (sementara imam tidak melakukannya-pent) karena keterlambatannya mengikuti (imam yang tidak duduk istirahat) hanya sedikit dan tidak termasuk keterlambatan yang dilarang –menurut mereka yang berpendapat akan mustahabnya duduk istirahat-. Bukankah ini perbuatan yang merupakan perkara ijtihad? Karena sesungguhnya telah bertentangan antara melakukan sunnah ini –yaitu menurutnya- dengan bersegera mengikuti imam?, sesungguhnya mengikuti imam lebih utama daripada terlamabat. Akan tetapi keterlambatan tersebut hanya sedikit, maka perkaranya seperti jika imam berdiri dari tasyahhud awal sebelum makmum menyelesaikan (bacaan) tasyahhud awal padahal makmum memandang mustahabnya menyempurnakan bacaan tasyahhud awal (sehingga akhirnya sang makmum terlambat beridiri-pent). Atau seperti jika imam salam padahal sang makmum masih ingin berdoa sedikit lagi, apakah sang makmum segera salam ataukah menyempurnakan dahulu doanya?. Permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk permasalahan ijtihad, dan yang paling kuat adalah bersegera mengikuti imam lebih utama dari pada terlambat karena melakukan perkara yang mustahab. Wallahu A'lam (Majmuu' Al-Fataawaa 22/452-453).


Bagaimana jika sang imam qunut subuh?



Ibnu Taimiyyah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ "Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti" dan juga bersabda لاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَى أَئِمَّتِكُمْ  "Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian", dan telah valid juga dalam shahih bahwasanya beliau bersabda يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ، وَعَلَيْهِمْ  "Mereka (para imam) sholat bagi kalian, jika mereka benar maka pahalanya buat kalian dan buat mereka, dan jika mereka salah maka pahalanya bagi kalian dan kesalahan bagi mereka. Bukankah jika imam membaca surat setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang terakhir dan memanjangkan bacaan surat tersebut maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya (menunggunya-pent)?. Adapun mendahului imam maka hal ini tidak diperbolehkan, maka jika imam qunut maka tidak boleh makmum mendahuluinya, akan tetapi harus mengikuti imam. Oleh karenanya Abdullah bin Mas'uud mengingkari Utsman karena sholat empat rakaat (tatkala safar-pent) akan tetapi beliau sholat empat rakaat diimami oleh Utsman. Maka dikatakan kepada beliau kenapa beliau berbuat demikian, maka beliau berkata الخِلاَفُ شَرٌّ Perselisihan itu buruk" (Al-Fataawa Al-Kubro 1/229)

Beliau juga berkata, "Wajib bagi makmum untuk mengikuti imam pada perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad msekipun sang makmum tidak sependapat. Sebagaimana jika imam qunut subuh atau menambah jumlah takbir tatkala sholat janazah hingga tujuh kali. Akan tetapi jika sang imam meninggalkan satu perkara yang perkara tersebut menurut makmum adalah rukun atau syarat sholat maka ada khilaf (apakah makmum tetap mengikuti imam atau tidak?-pent)" (Jaami'ul Masaail 5/388)

Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar memahami nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat qunut shalat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di belakang Imam yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aminkanlah doa imam tersebut.” Semua ini demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 4/86)


Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 09 Dzul Qo'dah 1431 H / 17 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Jumat, 24 September 2010

Cara Duduk Tasyahud Terakhir Sholat subuh


duduk iftirosy dan tawarrukPertanyaan :
"Manakah yang benar tatkala duduk tasyahhud terakhir sholat subuh, apakah dengan duduk tawarruk (yaitu duduk dengan mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan, dan tidak menduduki kaki kirinya) ataukah dengan duduk iftirosy(duduk dengan menghamparkan kaki kirinya dan duduk diatasnya serta menegakkan kaki kanan)?. Mohon penjelasannya ustadz.
Jawab :
Permasalahan ini adalah permasalahan khilaf (perbedaan pendapat) klasik. Namun pada kesempatan kali ini penulis mencoba untuk menjelaskan khilaf yang kuat antara madzhab Imam Ahmad dan madzhab Syafi'i. Tentunya masing-masing madzhab sama-sama memiliki dalil yang kuat. Oleh karenanya tulisan ini hanya usaha kecil dari penulis untuk memandang yang terkuat dari dua pendapat tersebut -tentunya menurut hemat penulis yang lemah ini-. Dan tulisan berikut ini tidak pantas dikatakan sebagai bantahan terhadap tulisan-tulisan yang bagus yang telah ada tentang permasalahan ini, akan tetapi hanya sebagai tambahan wacana bagi para pembaca yang budiman. Oleh karenanya tidak pantas jika kita menuduh bahwa orang yang berselisih dengan kita dalam permasalahan ini bahwa ia "pada hakekatnya tidak memberikan hak yang semestinya terhadap pembahasan ini", karena masing-masing telah berusaha berdalil dan berijtihad dalam memahami dalil, dan toh permasalahan ini adalah permasalahan khilaf klasik yang sejak dulu telah ada. Semoga Allah senantiasa merahmati para ulama yang berusaha memudahkan pemahaman agama kepada masyarakat.
Catatan : Madzhab As-Syafi'i dan madzhab Hanbali bersepakat bahwa untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka tasyahhud awal dengan duduk iftirosy dan tasyahhud kedua dengan duduk tawarruk. Khilaf yang terjadi diantara kedua madzhab ini adalah pada sholat-sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at, apakah dengan duduk iftirosy ataukah dengan duduk tawarruk.

Pendapat Madzhab As-Syafi'i
Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa duduk pada setiap rakaat yang terakhir baik sholat yang memiliki dua tasyahhud (seperti sholat dhuhur, ashar, magrib, dan isyaa') maupun sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud (seperti sholat subuh, sholat jum'at,  sholat witir satu rakaat, atau sholat-sholat sunnah 2 rakaat) maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.
Dalil yang dikemukakan oleh madzhab As-Syafi'i adalah hadits Abu Humaid As-Sa'idi


أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.

”Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Aku melihatnya tatkala bertakbir , menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya , maka ia berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk). (HR Al-Bukhari no 828).

Al-Imam An-Nawawi berkata, "Imam As-Syafi'i dan para sahabat kami (dari madzhab As-Syafi'i) berkata:

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالأَصْحَابُ : فَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيْحٌ فِي اْلفَرْقِ بَيْنَ التَّشَهُّدَيْنِ. وَبَاقِيَ اْلأَحَادِيْثُ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمَلَهَا عَلَى مُوَافَقَتِهِ, فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ اْلجُلُوْسَ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ, وَمَنْ رَوَى اْلاِفْتِرَاشَ أَرَادَ اْلأَوَّلَ. وَهذَا مُتَعَيِّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ لاَ سِيَمَا وَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

”Hadits Abu Humaid dan para shahabatnya jelas membedakan antara dua duduk tasyahhud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlak, sehingga wajib untuk dibawakan sesuai dengan hadits ini (hadits Abu Humaid-pen). Barang siapa yang meriwayatkan hadits duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk pada tasyahhud akhir, dan yang meriwayatkan duduk iftirasy , yang dimaksud adalah tasyahhud awal. dan harus dilakukan untuk menggabungkan antara hadits-hadits yang shahih, terlebih lagi hadits Abu Humaid As-Sa’idi telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar shahabat radhiallahu anhum. Wallahu a’lam”. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/413)

Hadits Abu Humaid ini juga datang dalam lafal-lafal yang lain yang semakin memperkuat madzhab As-Syafi'i. Diantara lafal-lafal tersebut adalah:

حتى إذا كانت السَّجْدَةُ التي فيها التَّسْلِيمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا على شِقِّهِ الْأَيْسَرِ

"Hingga tatkala sampai sujud yang terakhir yang ada salamnya maka Nabi mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawaruuk di atas sisi kiri beliau" (HR Abu Dawud no 963 dan Ibnu Maajah no 1061)

Diantaranya juga
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةَ الصَّلاَةِ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهُمَا وَأَخَّرَ رِجْلَهُ وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى رِجْلِهِ

"Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup sholat, maka beliau mengangkat kepala beliau dari dua sujud tersebut dan mengeluarkan kaki beliau dan duduk tawarruk di atas kakinya" (HR Ibnu Hibbaan no 1870)

Diantaranya juga

إذا كان في الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ على شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

"Jika Nabi berada pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat maka Nabi mengakhirkan kaki kirinya dan duduk tawaruuk di atas sisi beliau kemudian beliau salam" (HR An-Nasaai no 1262)

Sisi pendalilan madzhab As-Syafi'i:
Sisi pendalilan mereka adalah keumumann dari lafal-lafal yang datang dalam hadits Abu Humaid As-Sa'idi diatas seperti " dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir", "sujud yang terakhir yang ada salamnya", "sujud yang merupakan penutup sholat" dan "pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat". Lafal-lafal ini umum mencakup seluruh tasyahhud di rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat, apakah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud ataukah sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at.


Pendapat Madzhab Hanbali
Untuk sholat yang hanya ada satu tasyahhud (seperti sholat subuh dan sholat jum'at) maka duduknya adalah duduk iftirosy.
Ibnu Qudaamah berkata, "Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud yaitu pada tasyahhud yang dedua" (al-Mughni 2/227)

Dalil Madzhab Hanbali adalah

Hadits Aisyah –radhiyallahu 'anhaa-, beliau berkata

وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
.
“Adalah beliau (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).”
(HR. Muslim no 498).

Hadits Abdullah bin Az-Zubair

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اْليُسْرَى، وَنَصَبَ اْليُمْنَى

“Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Hibban no 1943).

Hadits Wail bin Hujr – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى

“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)

Dalam lafal yang lain

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Tirmidzi  no 292).

Dalam lafal yang lain :

وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ

Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)


Sisi pendalilan madzhab Hanbali

Sisi pendalilan mereka adalah keumuman lafal-lafal hadits ini, dan semua lafal-lafal di atas termasuk lafal-lafal umum, seperti, "Ketika duduk", "Jika duduk", "Tatkala beliau duduk"

Catatan

Pertama : Apakah hadits yang dijadikan dalil oleh madzhab Asy-Syafi'i –yaitu hadits Abu Hamid As-Sa'idi- memberi faedah keumuman?
Jika merenungkan dan mengamati hadits ini, ternyata hadits ini adalah sebuah kisah yang disampaikan oleh Abu Humadi As-Sa'idi tentang jenis sholat tertentu, yaitu sholat yang memiliki dua tasyahhud. Hal ini Nampak sangat jelas jika kita kembali melihat lafal-lafal hadits ini. Oleh karenanya lafal-lafal yang datang yang seakan-akan memberi faedah keumuman pada hakekatnya adalah penjelas tentang sholat yang memiliki dua tasyahhud tersebut, dan tidak mencakup seluruh sholat.

Sebagai pendekatan logika:

Misalnya penulis berkata kepada para pembaca sekalian tentang sholatnya Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, lantas penulis berkata; "Aku adalah orang yang paling tahu tentang cara sholatnya Syaikh Abdul Muhsin, tatkala beliau duduk di rakaat kedua maka beliau duduk iftirosy. Dan tatkala beliau duduk di rakaat yang terakhir yaitu rakaat penutup sholat, yang ada salamnya maka beliau duduk tawarruk".
Coba para pembaca yang budiman renungkan, apakah perkataan penulis "Pada rakaat terakhir" dipahami bahwasanya maksud penulis untuk seluruh sholat secara umum, baik sholat subuh dan sholat jum'at?, ataukah dipahami dari perkataan penulis "Pada rakaat yang terakhir" maksudnya adalah rakaat yang keempat yang berkaitan dengan sholat Syaikh Abdul Muhsin yang sedang penulis ceritakan?
Tentunya yang dipahami adalah yang kedua. Dan tidaklah penulis mengatakan "Pada rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat yang ada salamnya" kecuali untuk membedakan antara tasyahhud awal dan tasyahhud akhir yang merupakan penutup sholat.
Maka demikian pula perihalnya hadits Abu Humaid As-Saa'idi.

Kedua : Dalil yang digunakan oleh madhab Hanbali keumumannya lebih kuat. Adapun hadits Aisyah keumumannya dari sisi فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ "Pada setiap dua rakaat". Disini ada lafal "كُلِّ", dan ini merupakan lafal yang kuat dalam menunjukan keumuman .
Demikian juga hadits Abdullah bin Zubair semakna dengan hadits Aisyah, hanya saja kemumumannya diambil dari lafal إِذَا "Jika" yaitu dalam lafal إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ "Nabi jika duduk di dua rakaat maka beliau duduk iftirosy". Hal ini menunjukan bahwa beliau duduk dengan iftirosy di setiap dua rakaat -secara umum baik pada sholat dua rakaat yang hanya memiliki satu tasyahhud atau pada sholat 3 atau 4 rakaat yang memiliki dua tasyahhud-.

Peringatan 1:
Sisi pendalilan yang digunakan oleh madzhab Hanabilah dari hadits Aisyah ini bukan dengan mafhuum al-'adad (mafhuum bilangan) sebagaimana persangkaan sebagian orang.
(lihat : http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html)

Oleh karenanya madzhab Hanbali yang berdalil dengan hadits ini sama sekali tidak pernah menyebutkan tentang mafhuumul 'adad, karena memang mafhuumul 'adad lemah menurut para ulama ahli ushul.

Maksud dari mafhuum al-'adad:
Mafhuum al-'adad adalah salah satu jenis dari jenis-jenis mafhuum al-mukhoolafah (yaitu kebalikan dari suatu manthuuq/teks kalimat). Sebagai ceontoh misalnya hadits Nabi :"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan pahamkan agama baginya". Ini adalah manthuuq hadits, adapun mafhuum al-mukhoolafah dari hadits ini (yaitu makna kebalikannya) adalah ; Barang siapa yang tidak Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah tidak akan memahamkan agama baginya.
Contoh lain sabda Nabi :"Jika air telah mencapai dua kullah maka tidak akan ternajisi". Mafhuum al-mukhoolafahnya adalah : Jika air kurang dari dua kullah maka ternajisi"

Adapun mafhhum al-'adad yang merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah definisinya adalah :تعليق الحكم بعدد مخصوص Pengkaitan suatu hukum dengan bilangan tertentu (Ma'aalim ushuul al-fiqh hal 461)
Maka jika Aisyah berkata : “Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).”
Maka mafhuumul 'adad dari hadits ini yaitu : "Jika Rasulullah tidak duduk pada dua rakaat maka beliau tidak duduk iftirosy". Karena mafhuumul 'adad merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah.  Dan tidak ada seorangpun yang berdalil dengan hadits Aisyah ini –sepanjang penelitian penulis yang terbatas ini- dengan mafhuumul 'adad.

Peringatan 2:

Sebagian orang mengkhususkan keumuman hadits Aisyah diatas dengan hadits Rifa'ah yaitu sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam

فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ
“Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah thuma’ninah, dan hamparkan paha kirimu – agar engkau duduk diatasnya – (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud”
(HR. Abu Dawud dari Rifa’ah bin Rafi’, dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Aslu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).

Pengkhususan ini kuranglah tepat, karena tiga hal :

-    Kedua hadits ini adalah dua hadits yang berbeda
-    Penyebutan sebagian anggota dari keumuman tidaklah mengkhususkan keumuman tersebut. Kaedah ini telah dijelaskan oleh Syaikh Al-Utsaimin dengan panjang lebar. Sebagai contoh : jika Pak Dosen berkata, "Muliakanlah semua mahasiswa", ini merupakan lafal umum. Kemudian ia berkata lagi, "Muliakanlah mahasiswa yang bernama Muhammad". Dan Muhammad adalah salah satu anggota dari keumuman lafal "semua mahasiswa". Maka tidaklah dipahami dari perkataan pak dosen bahwasanya keumuman tersebut dikhususkan sehingga yang dimuliakan hanyalah si Muhammad. Hal ini juga sebagaimana dalam permasalahan ini. Jika disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya Nabi asalnya duduk dalam sholat dengan cara iftirosy, lantas datang dalam hadits yang lain –seperti hadits Rifa'ah- bahwasanya Nabi memerintahkan bahwa untuk duduk iftirosy di tengah sholat (tasyahhud awal) maka hal ini tidak melazimkan kalau di akhir sholat maka tidak iftirosy
-    Pendalilan seperti ini (pengkhususan dengan hadits Rifa'ah) merupakan pendalilan dengan mafhuum al-mukhoolafah, sejenis dengan mafhuumul 'adad
-    Justru dzohir dari hadits Rifa'ah yaitu Nabi sedang berbicara tentang sholat yang ada dua tasyahhudnya, karena Nabi mensifati tasyahhud awal dengan di tengah sholat, berarti di akhir sholat adalah tasyahhud akhir. Dan ini semakna dengan hadits Abu Humaid, dan keluar dari medan khilaf, karena khilaf yang sedang kita bahas antara madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali adalah pada sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud.

Ketiga : Dalil yang dikemukakan oleh Madzhab Hanbali bukan hanya hadits Aisyah, ada hadits yang lainnya yang lebih umum lagi yaitu hadits Wail bin Hujr.

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى

“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)

Dalam lafal yang lain

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Tirmidzi  no 292).

Dalam lafal yang lain :

وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ
Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy. (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)

Penulis katakan bahwasanya hadits Wail bin Hujr lebih umum karena menjelaskan bahwasanya Nabi setiap duduk dalam sholat beliau duduk iftirosy. Mencakup segala bentuk duduk, apakah duduk diantara dua sujud, ataukah duduk istirohah, ataukah duduk tatkala sholat dua rakaat, ataukah duduk tatkala sholat satu rakaat.
Keempat : keumuman dalil-dalil yang digunakan oleh Hanabilah (seperti hadits Aisyah, Abdullah bin Az-Zubair dan Wail Bin Hujr) dikhususkan oleh madzhab Hanabilah dengan hadits Abu Humaid. Oleh karenanya meskipun hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwasanya Nabi duduk iftirossy pada setiap duduk beliau dalam sholat akan tetapi hadits tersebut dikhususkan dengan hadits Abu Humaid, sehingga untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka pada tasyahhud yang kedua dengan duduk tawarruk. Oleh karenanya Madzhab Hanabilah dan madzhab As-Syafi'i bersepakat dalam hal ini.

Adapun sholat yang memiliki hanya satu tasyahhud –baik sholat dua rakaat atau satu rakaat- maka tidak dikhususkan oleh hadits Abu Humaid, jadi kita kembalikan kepada asal keumuman hadits Wail bin Hujr bahwasanya Nabi jika duduk dalam sholat beliau duduk dengan duduk iftirosy. Inilah yang dipahami oleh Syaikh Al-Utsaimin dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah.

Syaikh Al-'Utsaimin pernah ditanya ما كيفية الجلسة للتشهد في صلاة الوتر؟ "Bagaiamanakah cara duduk tasyahhud pada sholat witir?"

فأجاب فضيلته بقوله: الإنسان في صلاة الوتر يجلس مفترشاً؛ لأن الأصل في جلسات الصلاة الافتراش، إلا إذا قام دليل على خلاف ذلك، وعلى هذا فنقول يجلس للتشهد في الوتر مفترشاً، ولا تورك إلا في صلاة يكون لها تشهدان فيكون التورك في التشهد الأخير للفرق بينه وبين التشهد الأول هكذا جاءت السنة، والله أعلم

Beliau menjawab, "Seseorang tatkala sholat witir duduk iftirosy, karena asal dalam duduk dalam sholat adalah iftirosy. Kecuali jika ada dalil yang menunjukan yang lain. Oleh karenanya kami katakan : ia duduk iftirosy tatkala sholat witir, dan ia tidak duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, maka duduk tawarruk dilakukan tatkala tasyahhud akhir karena adanya perbedaan antara tasyahhud akhir dan tasyahhud awal. Demikianlah sunnah. Wallahu A'lam" (Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784)

Syaikh Al-Albani berkata,

والصواب الذي تدل عليه الأحاديث الصحيحة : أن الافتراش هو الأصل و السنة ؛ على حديث ابن عمر المخرج في « الإرواء » ( 317 ) ، ونحوه حديث عائشة الذي قبله ( 316 ) ؛ فيفترش في كل جلسة وفي كل تشهد ؛ إلا التشهد الأخير الذي يليه السلام ؛ كما جاء مفصلاً في حديث أبي حميد الساعدي

"Yang benar sebagaimana ditunjukan oleh hadits-hadits yang shahih bahwasanya duduk iftirosy adalah asal (duduk dalam sholat-pen) dan merupakan sunnah berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah ditakhrij di kitab Al-Irwaa no 317, dan juga semisalnya hadits Aisyah sebagaimana ditakhrij sebelumnya no 316. Maka seseorang duduk iftirosy di setiap duduk (dalam sholat) dan di setiap tasyahhud, kecuali tasyahhud akhir yang diikuti dengan salam, sebagaimana telah datang secara terperinci dalam hadits Abu Humaid As-Saa'idi" (Silsilah Al-Ahaadits Ad-Dlo'iifah 12/268)



Dialog

Jika pengkritik berkata, "Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?,
Bukankah Ibnu Umar berkata

إنما سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى

"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu" (HR Al-Bukhari no 793).
Ibnu Hajar telah menjelaskan bahwasanya meskipun hadits ini belum jelas tentang bagaimana cara Ibnu Umar melipat kaki kirinya, apakah dengan duduk iftirosy atauhkah dengan tawaruuk. Akan tetapi dalam riwayat yang lain dalam Muwatto' Imam Malik dijelaskan bahwasanya maksud cara melipatan kaki kiri tersebut adalah dengan duduk tawarruk (lihat Fathul Baari 2/306)

Adapun riwayat tersebut adalah sebagai berikut :

Dari Yahya bin Sa’id bahwasanya

أَنَّ الْقَاسِمَ بن مُحَمَّدٍ أَرَاهُمُ الْجُلُوسَ في التَّشَهُّدِ فَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وثني رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَجَلَسَ على وَرِكِهِ الأَيْسَرِ ولم يَجْلِسْ على قَدَمِهِ ثُمَّ قال أَرَانِي هذا عبد الله بن عبد الله بن عُمَرَ وَحَدَّثَنِي أَنَّ أَبَاهُ كان يَفْعَلُ ذلك
Al-Qasim bin Muhammad memperlihatkan kepada mereka cara duduk ketika tasyahhud, lalu beliau menegakkan kaki kanannya dan melipat kaki kirinya, dan duduk di atas pantat kirinya dan tidak duduk di atas kakinya. Lalu dia berkata: Abdullah bin Abdullah bin ‘Umar telah memperlihatkan kepadaku demikian, dan mengabariku bahwa ayahnya (Abdullah bin ‘Umar) melakukan yang demikian itu" (Al-Muwaththa”, dalam Bab: Al-’Amal Fil Juluus Fis Shalaah 1/90 no 202)
Jadi tidak diragukan lagi bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits diatas adalah duduk tawaruuk.
Lantas kenapa kalian tidak mengamalkan keumuman hadits Ibnu Umar ini sehingga kalian duduk tawaruuk pada setiap tasyahhud dalam sholat, termasuk pada sholat yang tasyahhudnya hanya satu?" (lihat http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html

Jawab:

Apakah hadits Ibnu Umar ini bersifat umum?
Jawabannya sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwasanya ada dua riwayat yang lain yang menjelaskan akan hal ini. Satu riwayat dalam kitab Al-Muwatto menjelaskan bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits di atas adalah cara duduk tatkala tasyahhud terakhir. Beliau berkata

لِأَنَّ فِي الموطأ أَيْضًا عن عبد الله بن دينار التَّصْرِيْحُ بِأَنَّ جُلُوْسَ ابْنِ عُمَرَ الْمَذْكُوْرَ كَانَ فِي التَّشَهُّدِ الأَخِيْرِ

"Karena di dalam kitab Muwatto' juga dari Abdullah bin Diinaar menegaskan bahwa duduknya Ibnu Umar yang disebutkan dalam hadits di atas adalah pada tasyahhud yang terakhir" (Fathul Baari 2/306)

Adapun riwayat yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar adalah sbb:

عن مَالِكٍ عن عبد الله بن دِينَارٍ * أَنَّهُ سمع عَبْدَ الله بن عُمَرَ وَصَلَّى إلى جَنْبِهِ رَجُلٌ فلما جَلَسَ الرَّجُلُ في أَرْبَعٍ تَرَبَّعَ وثني رِجْلَيْهِ فلما انْصَرَفَ عبد الله عَابَ ذلك عليه فقال الرَّجُلُ فَإِنَّكَ تَفْعَلُ ذلك فقال عبد الله بن عُمَرَ فَإِنِّي أَشْتَكِي

Dari Imam Malik, dari Abdullah bin Diinaar bahwasanya ia mendengar Ibnu Umar, dan ada seseorang yang sholat di sisinya. Tatkala orang tersebut duduk di raka'at yang keempat maka diapun duduk bersila dan melipat kedua kakinya. Tatkala Ibnu Umar selesai sholat maka diapun menegur orang tersebut. Maka orang itupun berkata, "Engkau juga melakukan hal itu". Maka Ibnu Umar berkata, "Aku sedang sakit" (Al-Muwattho' 1/88 no 199)

Selain itu Ibnu Hajar juga menjelaskan ternyata ada riwayat yang lain dari Ibnu Umar yang maknanya sebaliknya, yaitu Nabi selalu duduk iftirosy. Beliau berkata

وَرَوَى النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيْقِ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ أن القاسم حدثه عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه قال مِنْ سُنَّةِ الصَّلاَةِ أَنْ يَنْصِبَ الْيُمْنَى وَيَجْلِسَ عَلَى الْيُسْرَى فإذا حملت هذه الرواية على التشهد الأول ورواية مالك على التشهد الأخير انتفى عنهما التعارض
"Dan An-Nasaai meriwayatkan dari jalan 'Amr bin Al-Haarits dari Yahyaa bin Sa'iid bahwasanya Al-Qoosim mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya (Ibnu Umar) berkata, "Termasuk sunnahnya sholat menegakkan kaki kanan dan duduk di atas kaki kiri". Maka jika riwayat ini dibawakan pada tasyahhud awal dan riwayat Imam Malik dibawakan pada tasyahhud akhir maka hilanglah pertentangan dari dua riwayat ini" (Fathul Baari 2/306, adapun riwayat tersebut diriwayatkan oleh Al-Nasaai dalam sunannya al-mujtabaa no 1158 dengan lafal من سُنَّةِ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَمَ الْيُمْنَى وَاسْتِقْبَالُهُ بِأَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ وَالْجُلُوسُ على الْيُسْرَ tatkala An-Nasaai menjelaskan tentang sifat tasyahhud awal)

Dari penjelasan Ibnu Hajar diatas jelaslah kurang tepatnya orang yang berkata "Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu ‘Umar mengatakan “sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Maka jika anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin ‘Umar secara umum,dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat"

Catatan sangat penting:

Para pembaca yang budiman, lihatlah bagaimana Ibnu Hajar bermu'amalah (mensikapi) hadits Ibnu Umar di atas. Beliau tidak langsung menilai bahwa lafal yang datang dalam hadits Ibnu Umar tersebut bersifat umum. Akan tetapi beliau berusaha mencari jalan-jalan dan riwayat-riwayat yang lain dari hadits Ibnu Umar ini agar jelas maksud hadits Ibnu Umar. Setelah beliau menemukan riwayat yang menjelaskan bahwa perkataan Ibnu Umar tersebut berkaitan dengan sebuah kejadian dimana Ibnu Umar duduk di raka'at yang keempat maka Ibnu Hajar membawa hadits tersebut dalam kondisi tasyahhud yang terakhir, yaitu bahwasanya duduk tawarruk yang disebutkan oleh Ibnu Umar adalah maksudnya pada duduk tasyahhud akhir.
Cara inilah yang sedang penulis tempuh. Karena hadits Abu Humaid As-Saa'idi menjelaskan tentang sebuah sholat tertentu yaitu yang memiliki dua tasyahhud dan beliau tidak sedang berbicara tentang semua jenis sholat, maka kita bawakan keumuman lafal yang disebutkan oleh Abu Humaid adalah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, sehingga duduk tawarruk dalam hadits Abu Humaid hanyalah berlaku pada tasyahhud kedua. Dan inilah yang dilakukan oleh mayoritas ulama sunnah abad ini, seperti Syaikh Al-Albani dan Syaikh Bin Baaz.
Kemudian bukankah lafal hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yaitu

إنما سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى

"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu " (HR Al-Bukhari no 793).

Tanpa ada penjelasan tentang bagaimana cara duduknya, apakah dengan iftirosy ataukah dengan tawarruk?. Apakah hanya dengan berpegang dengan lafal Bukhari ini lantas kita katakana bahwa bebas bagi seseorang untuk dalam sholat apakah tasyahhud awal atau tasyahhud akhir dengan duduk tawarruk atau iftirosy, karena lafal Bukhari tersebut yang tidak jelas?

Jawabannya tidak. Sebagaimana yang dilakukan oleh pengkritik, ternyata ia membawa lafal Bukhari ini, yang mana lafal tersebut masih umum untuk dikhususkan dengan lafal yang terdapat di Muwathho' yang menjelaskan bahwa duduk yang dimaksud Ibnu Umar adalah duduk tawaruuk.
Maka demikian pula yang penulis lakukan, dengan membawa seluruh lafal-lafal hadits Abu Humaid yang bersifat umum kepada lafal yang menunjukan bahwa maksud Abu Humaid adalah untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud.

Kesimpulan

Dari pemaparan sederhana di atas maka penulis lebih condong pada pendapat madzhab Hanabilah, bahwasanya sholat yang memiliki satu tasyahhud saja maka duduknya adalah iftirosy karena keumuman hadits Wail bin Hujr. Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Bin Baaz (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah 7/17-18 soal no 2232), Syaikh Albani (Ashl sifat sholaat An-Nabiy 3/829 dan Irwaaul Golil 2/23) dan Syaikh Al-Utsaimin (lihat Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784).

Bagaiamanapun ini adalah permasalahan khilafiyah ijtihadiah yang kita harus toleransi terhadap orang yang menyelisihi kita. Dan bagaimanapun penulis berusaha untuk memaparkan permasalahan ini toh penulis tidak mampu untuk memenuhi hak pembahasan permasalahan ini dengan sempurna.



Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Syawal 1431 H / 24September 2010 M

Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Selasa, 14 September 2010

QUNUT SUBUH (2)

QUNUT SUBUH
Melazimkan qunut shubuh secara terus menerus menurut pendapat yang paling shahih bukan merupakan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan hadits :
حدثنا أحمد بن منيع أخبرنا يزيد بن هارون عن أبي مالك الأشجعي قال: قلت لأبي: يا أبت إنك قد صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان وعلي بن أبي طالب هاهنا بالكوفة، نحوا من خمس سنين، أكانوا يقنتون؟ قال: أي بني محدث.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’[1] : Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haaruun[2], dari Abu Maalik Al-Asyja’iy[3], ia berkata : “Aku pernah bertanya kepada ayahku[4] : ‘Wahai ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy di sini, yaitu di Kuufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka semua melakukan qunut ?”. Ayahku menjawab : “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats (perkara baru yang tidak pernah mereka lakukan- Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 402, dan ia berkata : “Hadits ini hasan shahih”].

Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/472, Ibnu Maajah no. 1241, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kubraa 8/378 no. 8178, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/249, Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah 8/97 & 98 no. 101 & 104, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 13/334-335 dari jalan Yaziid bin Haaruun, dari Abu Maalik Al-Asyja’iy. Dalam lafadh Ath-Thahawiy disebutkan :
قلت لأبي : يا أبت، إنك صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وخلف أبي بكر وخلف عمر وخلف عثمان وخلف علي رضي الله عنهم ههنا بالكوفة، قريبا من خمس سنين، أفكانوا يقنتون في الفجر ؟. فقال : أي بني، محدث.
Aku bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy di sini di Kuufah hampir selama lima tahun. Apakah mereka semua melakukan qunut di waktu (shalat) Shubuh ?”. Ayahku menjawab : “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats” [shahih].
Yaziid bin Haaruun mempunyai mutaba’ah dari :
1.        Hafsh bin Ghiyaats[5] dan ‘Abdullah bin Idriis[6] sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/308 (no. 7034 & 7036), Ibnu Maajah no. 1241, Ath-Thabaraaniy 8/378 no. 8179, dan Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah 8/98 no. 105 [shahih].
2.        Khalaf bin Khaliifah[7] sebagaimana diriwayatkan Ahmad 6/394, An-Nasaa’iy 2/204 dan dalam Al-Kubraa 1/341 no. 671, dan Ibnu Hibbaan no. 1989; dengan lafadh :
صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم يقنت وصليت خلف أبي بكر فلم يقنت وصليت خلف عمر فلم يقنت وصليت خلف عثمان فلم يقنت وصليت خلف علي فلم يقنت ثم قال يا بني إنها بدعة.
“Aku shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak qunut. Aku shalat di belakang Abu Bakr, ia tidak qunut. Aku shalat di belakang ‘Umar, ia tidak qunut. Aku shalat di belakang ‘Utsmaan, ia tidak qunut. Dan aku shalat di belakang ‘Aliy, ia pun tidak qunut”. Kemudian ayahku berkata : “Wahai anakku, ia adalah perbuatan bid’ah” [shahih lighairihi].
3.        Abu ‘Awaanah[8] sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 403, Ath-Thayaalisiy no. 1425, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 8/378 no. 8177, Al-Baihaqiy 2/213, dan Adl-Dliyaa’ 8/97-98 no. 102-103. Ath-Thabaraaniy dan Adl-Dliyaa’ membawakan dengan lafadh :
سألت أبي عن القنوت في صلاة الغداة ؟ فقال : أي بني صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما فلم أر أحدا منهم يقنت، أي بني بدعة. قالها ثلاثا.
Aku bertanya kepada ayahku tentang qunut pada shalat Shubuh. Ia menjawab : “Wahai anakku, aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, namun aku tidak melihat salah seorang pun di antara mereka yang melakukan qunut. Wahai anakku, itu adalah perbuatan bid’ah”. Ia mengatakannya tiga kali [shahih].
4.        Abu Mu’aawiyyah[9] sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Musnad no. 2766 dan Al-‘Uqailiy 2/484 no. 597.
Lafadh hadits ini mauquf namun dihukumi marfu’.
Kesimpulan finalnya, hadits ini shahih, para perawinya tsiqaat, dan sanadnya bersambung. Dishahihkan juga oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 2/182-183 no. 435, Al-Wadi’iy dalam Al-Jaami’ush-Shahiih mimmaa Laisa fish-Shahiihain 2/147, Al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad 25/214, dan Basyar ‘Awwaad dalam Takhrij Sunan Ibni Maajah 2/402-403.
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan qunut dalam shalat Shubuh. Sedikit akan saya sebutkan di bawah :
At-Tirmidziy rahimahullah setelah menyebutkan riwayat tentang qunut Shubuh berkata :
واختلف أهل العلم في القنوت في صلاة الفجر، فرأى بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم القنوت في صلاة الفجر. وهو قول الشافعي.
وقال أحمد، وإسحق: لا يقنت في الفجر إلا عند نازلة تنزل بالمسلمين، فإذا نزلت نازلة فللإمام أن يدعو لجيوش المسلمين.
“Para ulama berbeda pendapat mengenai qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat (masyru’-nya) qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan Asy-Syaafi’iy. Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaaq (bin Rahawaih) berkata : ‘Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendoakan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”.
والعمل عليه عند أكثر أهل العلم.
وقال سفيان الثوري إن قنت في الفجر فحسن، وإن لم يقنت فحسن واختار أن لا يقنت. ولم ير ابن المبارك القنوت في الفجر.
“(Hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di atas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : ‘Apabila seseorang melakukan qunut di waktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’. Ia (Ats-Tsauriy) memilih untuk tidak qunut. Ibnul-Mubaarak tidak berpendapat adanya qunut pada shalat Shubuh” [Jaami’ At-Tirmidziy, 1/426-427].
Al-‘Uqailiy rahimahullah berkata :
والصحيح عندنا أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت ثم ترك. وهذا يذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يقنت.
“Dan yang benar menurut kami bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut, kemudian meninggalkannya. Hadits ini (yaitu hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di atas – Abul-Jauzaa’) menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut” [Adl-Dlu’afaa’, 2/484].
Abu Ja’far Ath-Thahawiy Al-Hanafiy rahimahullah berkata :
إنما لا يقنت عندنا في الفجر من غير بلية فإن وقعت فتنة أو بلية فلا بأس به فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم أي بعد الركوع
“Bahwasannya tidak dilakukan qunut dalam shalat Shubuh di sisi kami (madzhab Hanafiyyah) selain dikarenakan musibah. Apabila terjadi fitnah atau musibah, maka tidak mengapa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, yaitu setelah rukuk” [Haasyiyyah Ath-Thahthaawiy ‘alaa Maraaqil-Falaah, hal. 377].
Abul-Husain Asy-Syaafi’iy Al-Yamaniy rahimahullah berkata :
والسنة : أن يقنت في صلاة الصبح عندنا في جميع الدهر، وبه قال مالك، والأوزاعي، وابن أبي ليلى، والحسين بن صالح، ورواه الشافعي عن الخلفاء الأربعة، وأنس.
وذهب الثوري، وأبو حنيفة، وأصحابه إلى : (أنه غير مسنون في الصبح)، ورُويَ ذلك عن ابن عباس، وابن عمر، وابن مسعود، وأبي الدرداء.
وقال أبو يوسف : إذا قنت الإمام.....فاقنتْ معهُ.....
“Dan sunnah (dalam permasalahan ini) : Melakukan qunut pada shalat Shubuh menurut kami setiap waktu. Inilah yang dikatakan Maalik, Al-Auza’iy, Ibnu Abi Lailaa, Al-Husain bin Shaalih, dan diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dari khalifah yang empat, dan Anas. Adapun Ats-Tsauriy, Abu Haniifah dan shahabat-shahabatnya berpendapat : Qunut tidak disunnahkan dalam shalat Shubuh. Diriwayatkan hal itu dari Ibnu ‘Abbaas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’uud, dan Abud-Dardaa’. Abu Yuusuf berkata : “Apabila imam melakukan qunut….maka qunutlah bersamanya….” [Al-Bayaan fii Madzhab Asy-Syaafi’iy, 2/242-243].
Abul-Hasan Al-Mardawiy berkata ketika menerangkan posisi madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah :
الصحيح من المذهب: أنه يكره القنوت في الفجر كغيرها وعليه الجمهور وقال في الوجيز: لا يجوز القنوت في الفجر.
قلت: النص الوارد عن الإمام أحمد لا يقنت في الفجر محتمل الكراهة والتحريم
“Yang shahih dari madzhab : Bahwasannya Ahmad memakruhkan qunut di waktu shalat Shubuh sebagaimana (kemakruhan melakukan qunut) selain shalat witir. Inilah pendapat jumhur. Dan ia berkata dalam Al-Wajiiz : ‘Tidak boleh melakukan qunut dalam shalat Shubuh’. Aku berkata : ‘Nash yang ada dari Al-Imam Ahmad : ‘tidak boleh qunut dalam shalat Shubuh’ dibawa pada pengertian makruh tahrim” [Al-Inshaaf fii Ma’rifati-Raajih minal-Khilaaf ‘alaa Madzhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal, 2/174].
Ahmad Syaakir rahimahullah berkata saat menyanggah perkataan Thaariq bin Asyyam bahwasannya qunut Shubuh adalah muhdats :
ثبت في أحاديث صحيحة القنوت في الصبح، ومن حفظ حجة على من لم يحفظ. والمثبت مقدم على النافي. وهو نفل لا واجب. فمن تركه فلا بأس، ومن فعله فهو أفضل.
“Telah tetap dalam hadits-hadits shahih tentang (masyru’-nya) qunut pada shalat Shubuh. Orang yang hapal merupakan hujjah bagi orang yang tidak hapal. Yang menetapkan lebih didahulukan dari yang meniadakan. Barangsiapa yang meninggalkannya, tidak mengapa. Dan barangsiapa yang mengerjakannya, maka itu afdlal (lebih utama)” [Syarh Sunan At-Tirmidziy, 2/252].
Menilik perkataan Ahmad Syaakir di atas – dan juga para ulama mutaqaddimiin - , memang benar ada beberapa hadits yang dianggap sebagai hujjah masyru’-nya qunut Shubuh secara terus-menerus. Di antaranya :
Apa yang dijadikan hujjah oleh madzhab Syaafi’iyyah dan yang lainnya dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana dinukil oleh Abul-Husain Asy-Syaafi’iy Al-Yamaniy rahimahullah adalah hadits berikut :
وحدثني عمرو الناقد وزهير بن حرب. قالا: حدثنا إسماعيل عن أيوب، عن محمد. قال: قلت لأنس : هل قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في صلاة الصبح؟ قال: نعم. بعد الركوع يسيرا.
Dan telah menceritakan kepadaku ‘Amru An-Naaqid dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, dari Ayyuub, dari Muhammad, ia berkata : Aku bertanya kepada Anas : “Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada shalat Shubuh ?”. Ia menjawab : “Benar, sebentar setelah rukuk” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 677 (298). Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 1001, Ibnu Maajah no. 1184, Abu Daawud no. 1444, dan yang lainnya].
Akan tetapi,….. mari kita perhatikan jalan periwayatan yang lainnya dari Anas :
وحدثني عبيدالله بن معاذ العنبري وأبو كريب وإسحاق بن إبراهيم. ومحمد بن عبدالأعلى (واللفظ لابن معاذ) حدثنا المعتمر بن سليمان عن أبيه، عن أبي مجلز، عن أنس بن مالك :  قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم شهرا بعد الركوع. في صلاة الصبح. يدعو على رعل وذكوان. ويقول "عصية عصت الله ورسوله".
Dan telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin Mu’aadz Al-‘Anbariy, Abu Kuraib, Ishaaq bin Ibraahiim, Muhammad bin ‘Abdil-A’laa – dan lafadh hadits ini adalah milik Ibnu Mu’aadz - : Telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir bin Sulaimaan, dari ayahnya, dari Abu Mijlaz, dari Anas bin Maalik : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan setelah rukuk dalam shalat Shubuh. Beliau mendoakan kejelekan kepada Bani Ri’l, dan Bani Dzakwaan, dan bersabda : “’Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 677 (299). Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 1003 & 4094].
حدثنا محمد بن المثنى. حدثنا عبدالرحمن. حدثنا هشام عن قتادة، عن أنس؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت شهرا. يدعو على أحياء من أحياء العرب. ثم تركه.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Qataadah, dari Anas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut selama sebulan mendoakan kejelekan kepada sebagian orang-orang ‘Arab, kemudian beliau meninggalkannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 677 (304). Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhaariy no. 4089].
أنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن محمد بن مرزوق الباهلي حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري حدثنا سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يقنت إلا إذا دعا القوم أو دعا على قوم
Telah memberitakan kepada kami Abu Thaahir[10] : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr[11] : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin Marzuuq Al-Baahiliy[12] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Anshaariy[13] : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah[14], dari Qataadah[15], dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut, kecuali jika mendoakan kebaikan pada satu kaum atau mendoakan kejelekan pada satu kaum” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 620; shahih].[16]
Tiga hadits di atas menjelaskan bahwa qunut Shubuh yang dimaksudkan Anas adalah qunut nazilah karena peristiwa Bi’r Ma’uunah. Itupun tidak dilakukan terus-menerus, karena hanya dilakukan selama sebulan dan kemudian ditinggalkan. Timbul pertanyaan lanjutan, apakah qunut tersebut hanya dilakukan khusus pada shalat Shubuh ? Perhatikan riwayat berikut :
حدثنا عبد اللّه بن معاوية الجمحي، ثنا ثابت بن يزيد، عن هلال بن خباب، عن عكرمة، عن ابن عباس قال : قَنَتَ رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم شهراً متتابعاً في الظهر والعصر والمغرب والعشاء وصلاة الصبح في دبر كل صلاة إذا قال :  "سمع اللّه لمن حمده" من الركعة الآخرة يدعو على أحياء من بني سليم على رعلٍ وذكوان وعصية، ويؤمّن من خلفه.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Mu’aawiyyah Al-Jumahiy[17] : Telah menceritakan kepada kami Tsaabit bin Yaziid[18], dari Hilaal bin Khabbaab[19], dari ‘Ikrimah[20], dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan penuh pada shalat Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isyaa’, dan Shubuh pada akhir setiap shalat, yaitu saat beliau berkata : ‘sami’allaahu liman hamidah’ di raka’at terakhir. Beliau mendoakan kejelekan pada orang-orang Bani Sulaim, Bani Ri’l, Bani Dzakwaan, dan Bani ‘Ushayyah; serta diaminkan orang-orang yang di belakang beliau (makmum)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1443; hasan].
حدثنا عبد الرحمن بن إبراهيم ثنا الوليد ثنا الأوزاعي حدثني يحيى بن أبي كثير حدثني أبو سلمة بن عبد الرحمن عن أبي هريرة قال : قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في صلاة العتمة شهرا يقول في قنوته اللهم نج الوليد بن الوليد اللهم نج سلمة بن هشام اللهم نج المستضعفين من المؤمنين اللهم اشدد وطأتك على مضر اللهم اجعلها عليهم سنين كسني يوسف قال أبو هريرة وأصبح رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم فلم يدع لهم فذكرت ذلك له فقال وما تراهم قد قدموا
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ibraahiim[21] : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid[22] : Telah menceritakan kepada kami Al-Auza’iy[23] : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Katsiir[24] : Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut pada shalat ‘atamah (Maghrib dan/atau ‘Isya’) selama sebulan dan berdoa : “Ya Allah, selamatkanlah Al-Waliid bin Al-Waliid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyaam. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukminiin. Ya Allah, keraskanlah tekanan (‘adzab) kepada Bani Mudlar. Ya Allah, jadikanlah hal itu terjadi atas mereka selama bertahun-tahun seperti pada masa Yuusuf”. Abu Hurairah berkata : “Pada satu hari di waktu Shubuh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi mendoakan mereka. Maka aku pun menanyakan permasalahan itu pada beliau, lalu beliau bersabda : ‘Apa pendapatmu tentang mereka sementara mereka telah meninggal ?” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1442; shahih].
حدثنا محمد بن المثنى. حدثنا معاذ بن هشام. حدثني أبي عن يحيى بن أبي كثير. قال: حدثنا أبو سلمة بن عبد الرحمن؛ أنه سمع أبا هريرة يقول : والله! لأقربن بكم صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم. فكان أبو هريرة يقنت في الظهر. والعشاء الآخرة. وصلاة الصبح. ويدعو للمؤمنين. ويلعن الكفار
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Hisyaam : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan[25], bahwasannya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata : “Demi Allah, sungguh aku akan dekatkan kalian dengan shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, ‘Isyaa’ yang akhir, dan Shubuh dengan mendoakan kebaikan bagi kaum muslimin dan melaknat orang-orang kafir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 676 (296)].
Tiga riwayat di atas menunjukkan qunut beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya dilakukan di waktu Shubuh, akan tetapi di waktu-waktu shalat yang lain. Ringkasnya, tidak ada pendalilan untuk hadits Anas di atas sebagai hujjah masyru’-nya qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus secara khusus.
Ada riwayat lain yang menjadi hujjah masyru’­-nya qunut Shubuh secara terus-menerus, yaitu hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu yang lain :
حدثنا ثنا عبد الرزاق قال ثنا أبو جعفر يعني الرازي عن الربيع بن أنس عن أنس بن مالك قال ما زال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت في الفجر حتى فارق الدنيا
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far – yaitu Ar-Raaziy[26] - , dari Ar-Rabii’ bin Anas[27], dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan qunut di waktu Shubuh hingga meninggal dunia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/162].
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 4963, Ad-Daaruquthniy 2/370-372 no. 1692-1694, Ibnu Abi Syaibah 2/312, Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 556, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/244, Al-Baihaqiy 2/201, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 639, Al-Haazimiy dalam Al-I’tibaar hal. 86, Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 2128; semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Raaziy.
Al-Baihaqiy berkata : “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah”.
Perkataannya Al-Baihaqiy ini layak mendapat kritik. Hadits ini lemah, bahkan munkar. Riwayat Abu Ja’far Ar-Raaziy tidak diterima jika menyendiri atau menyelisihi riwayat para perawi tsiqaat, karena jeleknya hapalannya. Dalam riwayat Ad-Daaruquthniy dibawakan dengan lafadh :
أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا يدعوا عليهم ثم تركه وأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut selama sebulan untuk mendoakan kejelekan pada mereka, kemudian meninggalkannya. Adapun untuk (qunut) pada shalat Shubuh, maka beliau senantiasa melakukannya hingga meninggal dunia”.
Riwayat Anas bin Maalik yang dibawakan Abu Ja’far ini menyelisihi riwayat yang telah disebutkan di atas dari Anas yang menyebutkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya qunut nazilah selama sebulan kemudian berhenti (HR. Al-Bukhaariy no. 4089 dan Muslim no. 677). Anas pun memberi kesaksian bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan qunut kecuali qunut nazilah dengan mendoakan kebaikan atau kejelekan pada satu kaum (HR. Ibnu Khuzaimah no. 620). Apalagi Ibnu ‘Abbaas menguatkan kesaksian tersebut (HR. Ibnu Khuzaimah no. 619). Oleh karena itu, riwayatnya di sini munkar.
Ar-Rabii’ bin Anas mempunyai mutaba’ah dari :
1.        Al-Hasan Al-Bashriy.
حدثنا ابن أبي داود قال : ثنا أبو معمر، قال : ثنا عبد الوارث، قال : ثنا عمرو بن عبيد، عن الحسن، عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم فلم يزل يقنت في صلاة الغداة، حتى فارقته، وصليت مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه فلم يزل يقنت في صلاة الغداة حتى فارقته.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Daawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Ubaid, dari Al-Hasan, dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau senantiasa qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia. Dan aku pun pernah shalat bersama ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, maka ia senantiasa qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 1/243].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy 2/202 dan Ad-Daaruquthniy 2/372-373 no. 1695-1698.
‘Amru bin ‘Ubaid At-Tamiimiy Al-Bashriy Al-Mu’taziliy menjadi penyakit utama dalam sanad hadits ini. Ia seorang yang matruuk sebagaimana dikatakan ‘Amru bin ‘Aliy dan Abu Haatim. Bahkan, Yuunus bin ‘Ubaid menyatakan ia telah memalsukan hadits. Humaid mengatakan ia telah memalsukan hadits dari Al-Hasan Al-Bashriy. Mu’aadz bin Mu’aadz dan Ayyuub mengatakan ia pendusta. Dan yang lainnya banyak sekali celaan para muhaddits terhadapnya dengan celaan-celaan yang berat [selengkapnya lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 8/70-75 no. 108]. Maka, riwayat ini tidak layak untuk dilirik karena sangat lemah, bahkan palsu.
Ada jalur lain yang dibawakan Ad-Daaruquthniy (2/373 no. 1698) dari Ismaa’iil Al-Makkiy dari Al-Hasan, dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu :
حدثنا إبراهيم بن حماد ثنا عباد بن الوليد ثنا قريش بن أنس ثنا إسماعيل المكي وعمرو عن الحسن قال : قال لي أنس قنت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ومع عمر حتى فارقتهما
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Hammaad[28] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-Waliid[29] : Telah menceritakan kepada kami Quraisy bin Anas[30] : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil Al-Makkiy[31] dan ‘Amru, dari Al-Hasan, ia berkata : Telah berkata kepadaku Anas : “Aku melakukan qunut bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bersama ‘Umar hingga keduanya berpisah denganku (meninggal dunia)”.
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy 2/202 dari jalan Quraisy bin Anas yang selanjutnya seperti riwayat Ad-Daaruquthniy.
Hadits ini sangat lemah, karena faktor Ismaa’il Al-Makkiy.
2.        Qataadah
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ ثنا علي بن حمشاذ العدل ويحيى بن محمد بن عبد الله العنبري قالا ثنا أبو عبد الله محمد بن إبراهيم العبدي ثنا عبد الله بن محمد النفيلي ثنا خليد بن دعلج عن قتادة عن أنس بن مالك رضى الله تعالى عنه قال صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فقنت وخلف عمر فقنت وخلف عثمان فقنت
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh[32] : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hamasyaadz Al-‘Adl[33] dan Yahyaa bin Muhammad bin ‘Abdillah Al-‘Anbariy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ibraahiim Al-‘Abdiy[34] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad An-Nufailiy[35] : Telah menceritakan kepada kami Khaliid bin Dal’aj[36], dari Qataadah[37], dari Anas bin Maalik radliyallaahu ta’aala ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau melakukan qunut. Di belakang ‘Umar, ia qunut, dan di belakang ‘Utsmaan, ia pun qunut” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/202].
Hadits ini lemah lagi munkar. Penyakitnya ada pada Khaliid bin Dal’aj, seorang yang dla’iif yang meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Qataadah. Dan ini sebagian di antaranya.
Selain itu, riwayat Anas yang menyatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur-Raasyidin setelah melakukan qunut Shubuh secara terus-menerus sangat nyata bertentangan persaksian Thaariq bin Asyyam bin Mas’uud Al-Asyja’iy (yang disebutkan di awal bahasan) bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut Shubuh (secara terus), dan hal itu berjalan hingga kekhalifahan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Kembali pada bahasan hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di awal,……
Hadits tersebut mengkhabarkan pada kita bahwa qunut pada waktu shalat Shubuh yang dilakukan secara terus-menerus – sebagaimana dilakukan sebagian kaum muslimin – tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga di era Al-Khulafaur-Raasyidin setelahnya. Seandainya memang perbuatan itu dicontohkan, sudah pasti Thaariq bin Asyyam bin Mas’uud Al-Asyja’iy radliyallaahu ‘anhu akan memberikan kesaksian lain. Jika kita menggunakan bahasa riwayat, maka qunut shubuh secara terus-menerus adalah muhdats atau bid’ah.
Akan tetapi ada satu pelajaran penting bagi kita semua bahwa khilaf permasalahan ini telah ada, minimal sejak era tabi’iin. Tidak mungkin Abu Maalik Al-Asy’ja’iy bertanya kepada ayahnya tentang qunut yang dilakukan manusia secara terus menerus pada shalat Shubuh jika ia tidak menyaksikannya atau mendengarnya. Oleh karena itu, kita perlu lapang dada dalam permasalahan ini; baik mereka yang berpendapat masyru’-nya qunut Shubuh atau yang tidak. Yang berpendapat masyru’, maka tidak perlu sewot jika ada yang mengatakan bahwa qunut Shubuh yang dilakukan terus menerus adalah perbuatan muhdats atau bid’ah, karena pihak yang berseberangan dengan mereka telah menggunakan sebaik-baik lafadh yang diriwayatkan secara shahih dari shahabat radliyallaahu ‘anhu. Sebaliknya, pihak yang berpendapat tidak masyru’ tidak perlu memaksakan pendapatnya untuk diaminkan pihak lain. Dan keduanya tidak perlu bubar memisahkan diri dari jama’ah, lalu membuat jama’ah baru karena imam yang ada melakukan sesuatu yang berlainan dengan apa yang diperbuatnya. Semuanya ini masih dalam ruang toleransi khilaf ijtihadiyyah yang diperbolehkan, walau kewajiban setiap kaum muslimin mengambil apa yang dianggapnya kuat menurut kadar pengetahuan yang dimilikinya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.


[1]        Ahmad bin Manii’ bin ‘Abdirrahmaan Abu Ja’far Al-Baghawiy Al-Asham; seorang yang tsiqah lagi haafidh (160-244). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 100 no. 115].
[2]        Yaziid bin Haaruun bin Zaadziy atau Zaadzaan bin Tsaabit As-Sulamiy Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ‘aabid (118-206 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1084 no. 7842].
[3]        Sa’d bin Thaariq bin Asyyam Abu Maalik Al-Asyja’iy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (w. 140 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 369 no. 2253].
[4]        Thaariq bin Asyyam bin Mas’uud Al-Asyja’iy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [idem, hal. 461 no. 3013].
[5]        Hafsh bin Ghiyaats bin Thalq bin Mu’aawiyyah bin Maalik bin Al-Haarits An-Nakha’iy Abu ‘Umar Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi faqiih, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya (w. 194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 260 no. 1439].
[6]        ‘Abdullah bin Idriis bin Yaziid bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Aswad Al-Audiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi ‘aabid (120-192 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 491 no. 3224].
[7]        Khalaf bin Khaliifah bin Shaa’id bin Baraam Al-Asyja’iy Abu Ahmad Al-Waasithiy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya di akhir usianya (91/92-181 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 299 no. 1741].
[8]        Al-Wadldlaah bin ‘Abdillah Al-Yasykuuriy Abu ‘Awaanah Al-Waasithiy Al-Bazzaaz; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 175/176 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1036 no. 7457].
[9]        Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (113-194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 840 no. 5878].
[10]       Ia adalah Muhammad bin Al-Fadhl bin Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah Abu Thaahir An-Naisaabuuriy, cucu Ibnu Khuzaimah; seorang imam yanng jaliil [lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/490-491 no. 360].
[11]       Ia adalah Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah bin Al-Mughiirah bin Shaalih bin Bakr, Abu Bakr As-Sulamiy An-Naisaabuuriy – yang terkenal dengan nama Ibnu Khuzaimah; seorang haafidh, hujjah, faqiih, lagi tsiqah (223-331 H) [lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/365-382 no. 214].
[12]       Muhammad bin Muhammad bin Marzuuq bin Bukair/Bakr Al-Baahiliy Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang shaduuq (w. 248 H). Dipakai oleh Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 893-894 no. 6311].
[13]       Muhammad bin ‘Abdillah bin Al-Mutsannaa bin ‘Abdillah bin Anas bin Maalik Al-Anshaariy Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah (w. 215 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 865 no. 6084].
[14]       Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi mempunyai banyak tulisan. Akan tetapi ia mengalami percampuran dalam hapalan (ikhtilaath) (w. 156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 384 no. 2378].
[15]       Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
[16]       Dikuatkan oleh hadits :
أنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن يحيى نا أبو داود حدثنا إبراهيم بن يعد عن الزهري عن سعيد وأبي سلمة عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يقنت إلا ان يدعو لأحد أو يدعو على أحد وكان إذا قال سمع الله لمن حمده قال ربنا ولك الحمد اللهم أنج وذكر الحديث
Telah memberitakan kepada kami Abu Thaahir : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Az-Zuhriy, dari Sa’iid dan Abu Salamah, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali jika hendak mendoakan kebaikan kepada seseorang atau mendoakan kejelekan kepada seseorang. Jika beliau berkata : ‘sami’allaahu liman hamidahu’, beliau berkata : ‘rabbanaa wa lakal-hamdu, allaahumma anji….’ Kemudian ia menyebutkan haditsnya [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 619; shahih].
[17]       ‘Abdullah bin Mu’aawiyyah bin Muusaa Al-Jumahiy Abu Ja’far Al-Bashriy; seorang yang tsiqah (w. 243 H) [idem, hal. 548 no. 3655].
[18]       Tsaabit bin Yaziid Al-Ahwal Abu Zaid Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 169 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 187 no. 842].
[19]       Hilaal bin Khabaab Al-‘Abdiy Abul-‘Alaa’ Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun hapalannya berubah di akhir usianya (w. 144 H) [idem, hal. 1026 no. 7384].
[20]       ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim terhadap tafsir (w. 105 H dalam usia 80 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[21]       ‘Abdurrahmaan bin Ibraahiim bin ‘Amru Al-Qurasyiy Al-‘Utsmaaniy Ad-Dimasyqiy Abu Sa’iid, terkenal dengan julukan Duhaim; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mutqin (170-245 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [idem, hal. 569 no. 3817].
[22]       Al-Waliid bin Muslim Al-Qurasyiy Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan tadlis taswiyyah (119-194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1041 no. 7506]. Dalam hadits ini ia menyatakan tashrih penyimakan riwayat dari gurunya.
[23]       ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy; seorang yang tsiqah, jaliil, lagi faqiih (w. 157 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 593 no. 3992].
[24]       Yahyaa bin Abi Katsiir Ath-Thaaiy Abu Nashr Al-Yamaamiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, akan tetapi melakukan tadlis dan irsal (w. 132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1065 no. 7682].
[25]       Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah lagi banyak haditsnya (94 H dalam usia 72 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1155 no. 8203].
[26]       Ia adalah ‘Iisaa bin Abi ‘Iisaa Maahaan Abu Ja’far Ar-Raaziy (w. 160 H).
Telah berkata ‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya : “Tidak kuat dalam hadits”. Telah berkata Hanbal, dari Ahmad : “Shaalihul-hadiits”. Telah berkata ‘Aliy bin Sa’iid bin Jariir dari Ahmad : “Mudltharibul-hadiits”. Telah berkata Ishaaq bin Manshuur dari Ibnu Ma’iin : “Tsiqah”. Telah berkata Ibnu Abi Maryam, dri Ibnu Ma’iin : “Ditulis haditsnya, akan tetapi ia sering keliru”. Telah berkata Ibnu Abi Khaitsamah dari Ibnu Ma’iin : “Shaalih”. Telah berkata Ad-Duuriy dari Ibnu Ma’iin : “Tsiqah. Dan ia sering keliru dalam hadits yang ia riwayatkan dari Mughiirah”. Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Aliy bin Al-Madiiniy dari ayahnya : “Ia seperti Muusaa bin ‘Ubaidah. Ia sering kacau dalam hadits yang ia riwayatkan dari Mughiirah dan yang sepertinya”. Telah berkata Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, dari ‘Aliy bin Al-Madiiniy : “Ia di sisi kami tsiqah”. Ibnu ‘Ammaar Al-Maushiliy berkata : “Tsiqah”. ‘Amru bin ‘Aliy berkata : “Padanya adalah kelemahan, dan ia termasuk orang jujur yang jelek hapalannya”. Abu Zur’ah berkata : “Syaikh, banyak ragu”. Abu Haatim : “Tsiqah, shaduuq, shaalihul-hadiits”. Zakariyya As-Saajiy berkata : “Shaduuq, akan tetapi tidak mutqin”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Ibnu Khiraasy berkata : “Shaduuq, jelek hapalannya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang baik. Orang-orang telah meriwayatkan darinya. Hadits-haditsnya secara umum adalah lurus, dan aku harap tidak mengapa dengannya”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia sering menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang terkenal dengan hadits-hadits munkar. Tidak membuatku kagum berhujjah dengan haditsnya, kecuali yang berkesesuaian dengan para perawi tsiqaat”. Al-‘Ijliy berkata : “Tidak kuat”. Al-Haakim berkata : “Tsiqah”. Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : “Ia di sisi mereka adalah orang yang tsiqah”. Al-‘Uqailiy menyebutkannya dalam Adl-Dlu’afaa’. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, jelek hapalannya” [Tahdziibut-Tahdziib 12-56-57 no. 221 dan Taqriibut-Tahdziib hal. 1126 no. 8077].
Kesimpulan : Pada asalnya ia seorang yang jujur, namun tidak tetap kedlabithannya. Riwayatnya tidak diterima jika menyendiri atau bahkan bertentangan dengan riwayat milik perawi tsiqaat – sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Hibbaan, wallaahu a’lam.
[27]       Ar-Rabii’ bin Anas Al-Bakriy Al-Hanafiy Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun memiliki beberapa keraguan (w. 140 H) [Taqriibut-Tahdziib hal. 318 no. 1892].
[28]       Ibraahiim bin Hammaad bin Ishaaq Al-Azdiy; seorang yang tsiqah (240-323 H) [Taraajim Rijaal Ad-Daaruquthniy, hal. 65 no. 116].
[29]       ‘Abbaad bin Al-Waliid bin Khaalid Al-Ghubariy, Abu Badr Al-Muaddib; seorang yang shaduuq (w. 258/262 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 483 no. 3168].
[30]       Quraisy bin Anas Al-Anshaariy, Abu Anas Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun berubah hapalannya di akhir usianya (w. 208 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 801 no. 5578].
[31]       Ismaa’iil bin Muslim Al-Makkiy, Abu Ishaaq Al-Bashriy; seorang yang telah disepakati kelemahannya. An-Nasaa’iy berkata : “Matruukul-hadiits, tidak tsiqah”. Ahmad berkata : “Munkarul-hadiits”. Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Al-Bukhaariy berkata : “Yahyaa, Ibnu Mahdiy, dan Ibnul-Mubaarak meninggalkannya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Haditsnya-haditsnya tidak mahfuudh dari ia riwayatkan dari penduduk Hijaaz dan Bashrah…”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia meriwayatkan riwayat-riwayat munkar dari para perawi terkenal…” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 1/331-333 no. 598 dan Natsnun-Nabaal hal. 214-216 no. 385].
[32]       Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakam Adl-Dlabbiy Ath-Thuhmaaniy An-Naisaabuuriy, Al-Haafidh Abu ‘Abdillah Al-Haakim; seorang imam, tsiqah, pemilik banyak tulisan (321-405) [lihat : Syuyuukh Al-Baihaqiy no. 141].
[33]       ‘Aliy bin Hamsyaadz bin Sakhtuwaih bin Nashr Al-‘Adl; seorang imam, haafidh, lagi tsiqah (258-338) [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/398-400 no. 221].
[34]       Muhammad bin Ibraahiim bin Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Abdariy, Abu ‘Abdillah Al-Busyanjiy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 290/291 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal.819 no. 5729].
[35]       ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aliy bin Nufail Al-Qadlaa’iy Abu ja’far An-Nufailiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 234 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 543 no. 3619].
[36]       Khaliid bin Dal’aj As-Saduusiy Al-Bashriy (w. 166 H). Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iiful-hadiits”. Di lain tempat ia berkata : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaalih, tidak kokoh dalam hadits. Ia telah meriwayatkan dari Qataadah beberapa hadits yang sebagiannya munkar. Ad-Daaruquthniy menyebutkannya dalam jajaran perawi matruk (ditinggalkan haditsnya)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Secara umum hadits-hadits ada mutaba’ah dari selainnya, dan sebagian di antaranya ada pengingkaran. Akan tetapi ia bukan seorang yang sangat munkar haditsnya”. Abu Daawud dan As-Saajiy berkata : “Dla’iif” [selengkapnya lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 3/158-159 no. 301].
[37]       Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqribut-Tahdziib hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].